Tugas Mata Kuliah Ilmu Budaya Dasar
1.Perang
antar Suku dan Penyebabnya
Tanah Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih menyimpan berbagai macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang sampai sekarang telah ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua sangat beragam dan mencakup semua lini kehidupan, mulai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakangan ini juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut, utamanya adalah konflik sosial yang dipicu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada. Masalah persinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam merupakan salah satu penyebab perang suku di daerah Pedalaman Papua. Disamping itu konflik internal antar suku yang terjadi di waktu lampau juga menjadi salah satu faktor penyebab perang suku dan kelompok di daerah pedalaman papua yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik maupun materi lainnya. Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku atau Dani wim dan Amungme wem, sebab perang suku yang terjadi adalah antara suku-suku asli Papua yang mendiami daerah tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga, Suku Dem, Suku Damal/ Amungme, Suku Moni, Suku Wolani serta Suku Ekari/Me, dan suku-suku lainnya. Suku-suku tersebut merupakan suku-suku yang mempunyai tradisi perang yang sangat kuat.
2.Perdamaian Perang Suku yang keliruh
Pedamaian perang suku yang dilakukan oleh Pemda, Lembaga Kemasyarakatan dan gereja pada dasarnya memiliki pola pemahaman dan penanganan yang sama. Perang suku dilihat sebagai suatu tindakan yang negative, sebagai suatu kriminalitas, yang bertentangan dengan hukum-hukum positif maupun hukum-hukum agama. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran ketiga lembaga di atas tidak lebih dari seorang polisi penjaga, yang melerai dan menghentikan pertikaian.
Anehnya, sekalipun ketiga lembaga itu melihat perang sebagai sesuatu yang negative, tetapi dalam upaya mereka untuk menghentikan dan meniadakan perang suku, ketiganya justru memanfaatkan mekanisme penyelesaian perang secara adat yaitu membayar ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Ketiga lembaga itu percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Pengakuan terhadap nilai-nilai kultural serta digunakannya nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merupakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang membayar ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacam ini punya dua kelemahan yang mendasar. Pertama, pola penanganan semacam ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya effektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara membayar ganti rugi dan upacara bakar batu bukan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang.
Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik sosial. Ketika keutamaan dari kategorisasi sosial ini terus-menerus dikukuhkan, itu berarti konflik sosial antar kategorisasi sosial akan terus terulang. Atau, dengan kata lain ketika nilai-nilai kultural setiap suku yang ada di pedalaman papua terus menerus dipertahankan dan mendapat legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku akan terus menerus terjadi.
Bagi penulis kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti rugi dan upacara bakar batu—yang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu keutamaan kategorisasi social—terus menerus dilakukan ? adakah berbagai kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu ? Penulis melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu:
1. Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat Papua. Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai “masyarakat termiskin’ di Indonesia terus dipertahankan.
2. Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis. Ada dua dampak politis yang bias dilihat. a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang tergantung pada pihak lain. Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka masih sangat tergantung pada pihak lain? B). Masih dalam kaitannya dengan pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya ?
3. Aspek Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ? siapakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan itu?
Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua . pertanyaan-pertanyaan ini sebagai catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga lembaga tadi.
3.Salah satu solusi yang tepat
Menurut saya, penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen. Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi social. Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru.
Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi.
Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan. Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya, tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu.
Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan. Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu. Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif. Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri. Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat. Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku.
Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa “peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Dan ayat 2 dikatakan “pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun.
Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencari kesejahtraan rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya, supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam penanganan perang. Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka terhadap hukum positif.
Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya. Harus jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas merupakan persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas.
Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha yang mudah. Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan. Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal. Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut.
Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat, proses rekategorisasi perlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama, rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru.
Tanah Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih menyimpan berbagai macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang sampai sekarang telah ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua sangat beragam dan mencakup semua lini kehidupan, mulai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakangan ini juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut, utamanya adalah konflik sosial yang dipicu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada. Masalah persinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam merupakan salah satu penyebab perang suku di daerah Pedalaman Papua. Disamping itu konflik internal antar suku yang terjadi di waktu lampau juga menjadi salah satu faktor penyebab perang suku dan kelompok di daerah pedalaman papua yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik maupun materi lainnya. Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku atau Dani wim dan Amungme wem, sebab perang suku yang terjadi adalah antara suku-suku asli Papua yang mendiami daerah tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga, Suku Dem, Suku Damal/ Amungme, Suku Moni, Suku Wolani serta Suku Ekari/Me, dan suku-suku lainnya. Suku-suku tersebut merupakan suku-suku yang mempunyai tradisi perang yang sangat kuat.
2.Perdamaian Perang Suku yang keliruh
Pedamaian perang suku yang dilakukan oleh Pemda, Lembaga Kemasyarakatan dan gereja pada dasarnya memiliki pola pemahaman dan penanganan yang sama. Perang suku dilihat sebagai suatu tindakan yang negative, sebagai suatu kriminalitas, yang bertentangan dengan hukum-hukum positif maupun hukum-hukum agama. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran ketiga lembaga di atas tidak lebih dari seorang polisi penjaga, yang melerai dan menghentikan pertikaian.
Anehnya, sekalipun ketiga lembaga itu melihat perang sebagai sesuatu yang negative, tetapi dalam upaya mereka untuk menghentikan dan meniadakan perang suku, ketiganya justru memanfaatkan mekanisme penyelesaian perang secara adat yaitu membayar ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Ketiga lembaga itu percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Pengakuan terhadap nilai-nilai kultural serta digunakannya nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merupakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang membayar ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacam ini punya dua kelemahan yang mendasar. Pertama, pola penanganan semacam ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya effektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara membayar ganti rugi dan upacara bakar batu bukan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang.
Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik sosial. Ketika keutamaan dari kategorisasi sosial ini terus-menerus dikukuhkan, itu berarti konflik sosial antar kategorisasi sosial akan terus terulang. Atau, dengan kata lain ketika nilai-nilai kultural setiap suku yang ada di pedalaman papua terus menerus dipertahankan dan mendapat legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku akan terus menerus terjadi.
Bagi penulis kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti rugi dan upacara bakar batu—yang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu keutamaan kategorisasi social—terus menerus dilakukan ? adakah berbagai kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu ? Penulis melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu:
1. Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat Papua. Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai “masyarakat termiskin’ di Indonesia terus dipertahankan.
2. Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis. Ada dua dampak politis yang bias dilihat. a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang tergantung pada pihak lain. Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka masih sangat tergantung pada pihak lain? B). Masih dalam kaitannya dengan pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya ?
3. Aspek Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ? siapakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan itu?
Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua . pertanyaan-pertanyaan ini sebagai catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga lembaga tadi.
3.Salah satu solusi yang tepat
Menurut saya, penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen. Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi social. Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru.
Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi.
Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan. Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya, tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu.
Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan. Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu. Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif. Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri. Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat. Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku.
Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa “peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Dan ayat 2 dikatakan “pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun.
Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencari kesejahtraan rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya, supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam penanganan perang. Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka terhadap hukum positif.
Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya. Harus jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas merupakan persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas.
Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha yang mudah. Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan. Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal. Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut.
Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat, proses rekategorisasi perlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama, rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru.
Upaya-upaya yang harus dilakukan
oleh pihak kepolisian dalam menangani konflik sosial seperti ini, antara lain:
Dalam masa pra konflik biasanya banyak ditandai dengan kejadian-kejadian konflik antar individu yang akan berlanjut menjadi konflik antar kelompok atau golongan. Misalnya perkelahian antar seorang pemuda dari suku yang berbeda, biasanya akan berlanjut ke tingkat yang eskalasi yang lebih besar.
Dalam hal ini polisi cepat tanggap dapat melakukan kegiatan penangkapan untuk dilanjutkan ke proses hukum terhadap para pelaku agar menimbulkan efek jera bagi warga lain dalam suku tersebut, sehingga pra konflik tidak akan menjadi sebuah konflik sehingga akar permasalahan dapat diketahui. Frekuensi tingkat patroli polisi dan giat-giat perpolisian masyarakat (polmas) ke daerah-daerah rawan pra konflik.
Konflik akan menjadi pressure bagi warga untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah ke konflik, giat polmas akan menimbulkan kesadaran hukum akan pentingnya hidup bersosial dan rasa tenteram di dalam kehidupan bermasyarakat, jika muncul perang antar kelompok, maka polisi harus segera menengahi konflik fisik atau perang yang sedang atau yang akan segera terjadi dengan cara mengirimkan pasukan yang kekuatannya lebih besar dibanding yang berperang.
Namun, semua tindakan tersebut di atas akan menjadi sia-sia apabila kedua suku bangsa tersebut tidak ada upaya atau komitmen yang kuat di luar dari perdamaian untuk mengembalikan pola-pola keharmonisan hubungan yang baik sebagaimana yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat. Perlu juga dilakukan pendidikan moralitas dan pendalaman ajaran agama masing-masing yang menekankan akan pentingnya saling harga-menghargai dan hormat-menghormati dengan penuh toleransi antar umat beragama.
Kerjasama ini harus dibina secara berkesinambungan. Pihak ketiga yang netral harus selalu siap memfasilitasi dan mengawasi hubungan tersebut demi terciptanya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.
Sumber: http://hdwaker.wordpress.com/sosial/perang-suku-dan-perdamaian-yang-keliru/
Komentar
Posting Komentar